Nasib Duyung di Indonesia

IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources, Serikat Antarbangsa bagi Konservasi Alam) mengklasifikasikan duyung sebagai spesies hewan yang terancam punah dan CITES melarang atau mengharamkan perdagangan barang-barang produksi yang dihasilkan dari hewan ini. Duyung menjadi hewan buruan selama beribu-ribu tahun karena daging dan minyaknya. Kawasan penyebaran dugong semakin berkurangan, dan populasinya semakin menghampiri kepunahan. Walau pun spesies ini dilindungi di beberapa negara, penyebab utama penurunan populasinya di antaranya ialah karena pembukaan lahan baru, perburuan, kehilangan habitat serta kematian yang secara tidak langsung disebabkan oleh aktivitas nelayan dalam menangkap ikan. Duyung bisa mencapai usia hingga 70 tahun atau lebih, serta dengan angka kelahiran yang rendah yang mengancam menurunnya populasi duyung.

Sedikit informasi ilmiah yang tersedia pada kelimpahan, distribusi dan perilaku dugong (Duyung) di perairan Indonesia. Sebagian besar informasi didapatkan dari hasil wawancara dan survei snorkeling, dan catatan insidental (Perrin et al 1996.). Salm et al. (1982) (dalam Nishiwaki & Marsh 1985) menilai bahwa keberadaan duyung di Indonesia sangat sedikit. Pada 1970-an, populasi dugong di Indonesia diperkirakan sekitar 10.000 dan pada tahun 1994, populasi diperkirakan sekitar 1.000. Kedua perkiraan populasi dugaan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti penurunan terhadap populasi duyung yang terdapat di Indonesia.

Menurut Suwelo & Ginting (pers comm. 2000), daerah di mana duyung telah diamati dalam wilayah Indonesia meliputi perairan pesisir :

• Sumatra (Riau, Kepulauan Bangka dan Belitung

• Jawa (Taman Nasional Ujung Kulon, pantai Cilegon, pantai Labuhan, selatan Cilacap, Segara Anakan, tenggara Blambangan)

• Kalimantan (Teluk Balikpapan, Kotawaringin, Cadangan Karimata Pulau Laut, Teluk Kumai, Pulau Derawan)

• Sulawesi (utara – Arakan Wawontulap, Pulau Bunaken; pusat – Laut Kepulauan Togian ; pantai tenggara dan selatan – Taman Nasional Laut Wakatobi dan Taka Bonerate)

• Bali (pantai selatan Bali, Uluwatu dan Padang-padang)

•Nusa Tenggara Timur (NTT) (Sikka, Semau, Sumba, Kepulauan Lembata dan Flores, Laut Teluk Kupang dan Taman Nasional Komodo)

• Maluku (Kepulauan Aru (termasuk Aru Tenggara Marine cadangan), Sewa Islands (Haruku, Saparua, Nusa Laut, Seram, dan selatan Halmahera (Syamsudin pers comm. 2001))

• Papua Barat (Biak Island – Kepulauan Padaido, Sorong, pantai Fakfak, Cendrawasih Teluk Taman Nasional Laut dan Taman Nasional Wasur).

Pada Taman Laut Nasional Teluk Cendrawasih di Papua Barat, yaitu taman laut terbesar di Asia Tenggara (Putrawidjaja 2000) tercatat 13 duyung di pantai barat taman selama survei udara pada tahun 1982. Pada pelayaran penelitian ilmiah, sebuah populasi duyung jarang telah diamati disekitar utara Papua Barat (Syamsudin pers comm 2001.).

  • Faktor penyebab penurunan populasi duyung di Indonesia :

Tanaman Lamun merupakan makanan utama duyung, ketersediaan lamun di alam menjadi faktor penentu perkembangan kehidupan duyung. LIPI (1997) memperkirakan bahwa total luas padang lamun di Indonesia adalah sekitar 30.000 km2. Penebangan, kebakaran hutan, limbah pertanian, erosi tanah, polusi dan pembangunan pesisir menyebabkan penurunan jumlah habitat lamun.

Pengerukan perairan pantai mengancam daerah makan duyung, khususnya di Sumatera, Jawa dan Bali dimana kepadatan penduduk tergolong tinggi. Pencemaran perairan juga merupakan penyebab penurunan populasi duyung. Logam berat terakumulasi pada daun lamun yang merupakan makanan bagi ikan duyung. Contoh kasus terdapat di Cilegon dan Teluk Jakarta, lamun terdekat daerah perkotaan memiliki konsentrasi berat logam tertinggi.

Di Papua Barat, penebangan dan pertambangan merupakan ancaman yang signifikan untuk padang lamun dan habitat laut lainnya. Misalnya, di Teluk Cendrawasih Taman Nasional Laut, Papua Barat, duyung jarang ditemukan karena sebagian besar habitat mereka telah dihancurkan oleh deforestasi yang disebabkan sedimentasi. Di Sulawesi utara,terdapat pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan pada wilayah pesisir kota Manado. Hal ini tentu saja memiliki dampak negative terhadap pertumbuhan  padang lamun yang terdapat pada Taman Nasional Laut Pulau Bunaken (Mandagi pers comm. 2001).

Perburuan duyung, penangkapan ikan mengunakan jaring pukat dan bahan peledak serta bahan-bahan beracun, dan aktivitas nelayan yang tidak bertanggung jawab juga merupakan factor penyebab penurunan populasi duyung di Indonesia.

  • Peraturan pemerintah daerah (Perda) untuk melindungi duyung dan habitatnya:

• UU Kehutanan No.5/1976

• UU Perikanan No.9/1985

• Keanekaragaman Hayati dan UU Konservasi Ekosistem No.5/1990

• Karantina Undang-Undang No.16/1992

• Konvensi Keanekaragaman Hayati UU No.5/1995

• UU No.23/1997 Pengelolaan Lingkungan

• Pemerintah Daerah UU No.22/1999 Pengaturan kelembagaan untuk mengelola dugong
perlindungan berada di bawah Direktorat Jenderal Alam Konservasi – Departemen Kehutanan.

Namun, karena 2001, Departemen Kehutanan telah mengembangkan nota kesepahaman yang  mengakibatkan kewenangan pengelolaan berpindah tangan ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengelolaan enam taman nasional laut, termasuk Kepulauan Seribu – (Daerah Khusus Ibukota, Jakarta ); DKI Karimun (Jawa Tengah), Bunaken (North Sulawesi), Wakatobi (Sulawesi Tenggara); Taka Bonerate (Sulawesi Selatan) dan Teluk Cendrawasih (Papua Barat).

  • Kesimpulan

• Populasi duyung di Indonesia tergolong langka dan terancam punah.

• Penyebab penurunan jumlah populasi di akibatkan oleh perburuan duyung, degradasi lamun, pembangunan daerah pesisir dan aktivitas nelayan yang merusak.